Udah, Ikhlasin aja.
- Alam Nugraha
- Dec 26, 2020
- 4 min read
Halo semuanya! Udah cukup lama gue gak datang ke tempat ini lagi. Kembali satu termin udah berhasil dilewati dan terjadi begitu saja. Banyak banget hal yang udah gue lewati 6 bulan ke belakang. Seperti biasanya, semua emosi pasti hadir di seluruh momen dan peristiwa yang udah gue lewati itu. Beberapa hal terjadi di luar dugaan, tetapi beberapa hal lainnya terjadi dan berjalan sesuai dengan apa yang gue ekspektasikan. Terkadang, rasa menyesal mampir ke dalam diri karena tidak bisa memenuhi ekspektasi diri sendiri. Sebagai seseorang yang tidak tergolong optimis, gue cenderung menyalahkan diri gue sendiri atas tidak terpenuhinya ekspektasi tersebut tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lainnya. Padahal, ketika dipikir kembali, banyak hal dapat terjadi dan sebenarnya itu di luar kemampuan dan jangkauan gue. Salah satu mekanisme untuk mengobati rasa kecewa tersebut adalah dengan IKHLAS.
Pernahkah kalian merasa kecewa terhadap suatu hal karena ekspektasi dalam kepala tidak sejalan dengan realita? Gue rasa, hal semacam itu sudah mulai sering dirasakan oleh orang-orang ketika duduk di bangku sekolah SMP. Kecewa karena ulangan diremedial padahal udah belajar semaleman, kecewa karena chat BBM hanya di-read sama doi, atau kecewa karena situasi sulit di lingkungan terdekat mulai memaksa diri kita untuk menuruti kemauannya? Ya intinya, secara tidak sadar, orang-orang sudah memberanikan diri mereka untuk mengambil resiko ketika mereka memutuskan untuk berharap terhadap situasi atau seseorang. Seiring bertambahnya usia gue, jujur, semakin banyak hal yang gue harapkan untuk ke depannya dan semakin besar juga kemungkinan gue untuk kecewa. Namun, rasa kecewa itu yang justru secara tidak sadar mengantarkan gue untuk mengenal rasa ikhlas. Menurut gue, ikhlas merupakan situasi di mana perasaan kita secara tulus dapat menerima segala hal yang menimpa kita atau sedang kita hadapi. Sampai saat ini gue masih memiliki asumsi bahwa setiap orang memiliki definisinya masing-masing tentang suatu hal, termasuk ikhlas.

Beberapa waktu lalu, ketika tugas-tugas UAS belum menembus dinding kebahagiaan, gue sempet diajak untuk join zoom meeting oleh anak-anak Eureka. Intinya, mereka ini anak-anak yang tidak sengaja terkumpul ke dalam sebuah kelompok karena mereka mengikuti satu kegiatan yang sama. Hobinya ngobrol ngalor-ngidul selepas adzan Isya berkumandang. Mereka bisa melupakan aktivitas kuliah mereka di esok hari hanya demi menyaksikan film horror yang ditayangkan secara patah-patah melalui fitut share screen di zoom meeting. Saat itu, kebetulan mereka tidak memiliki agenda nonton bersama film horror. Gue dengan iseng menanyakan kepada mereka mengenai makna ikhlas bagi diri mereka masing-masing. Sesuai dugaan gue, mereka memiliki arti ikhlasnya masing-masing. Meskipun begitu, terdapat satu benang merah yang dapat gue tarik dari apa yang udah mereka utarakan tentang makna ikhlas yaitu menerima suatu hal dengan hati yang lapang.
Melapangkan hati bukanlah suatu perkara yang mudah bagi seseorang Hal tersebutlah yang gue rasa membuat seseorang menjadi sulit untuk ikhlas. Seringkali pada pengalaman yang gue rasakan, ketika gue merasa kecewa, tidak secara tiba-tiba hati gue dingin dan mau menerima realita yang ada. Mulanya, hati dan pikiran selalu sepakat untuk memberontak dan memperjuangkan ekspektasi yang sudah lama tersimpan di pikiran. Pemberontakan pikiran dan hati itu terjadi melalui berbagai tindakan seperti menyalahkan keadaan, menyalahkan diri sendiri, atau bahkan marah-marah tidak jelas di depan kipas Cosmos dengan kecepatan level 3. Wajarkah seperti itu? Menurut gue wajar, karena itu menjadi salah satu mekanisme pertahanan diri manusia. Semua itu menjadi salah satu tahapan bagi kita untuk bisa ikhlas menerima suatu hal, khususnya untuk orang-orang yang sangat mudah untuk “gregetan”. Namun, apakah ada orang yang langsung ikhlas begitu dirinya dikecewakan? Gue yakin ada dan merekalah para top global ikhlas.
Gue setuju banget ketika temen-temen Eureka bilang bahwa Ikhlas memang memerlukan proses. Di situ, gue menyadari bahwa gue memiliki kawan yang juga mudah untuk “gregetan” dalam menghadapi rasa kecewa. Gue masih percaya banget bahwa semua hal di dunia ini memerlukan proses. Bahkan, mie instant sekalipun memerlukan proses 3 menit untuk siap disantap. Berdasarkan apa yang gue rasakan dan sesuai dengan apa yang gue katakan di atas, pada mulanya pasti diri gue memberikan penolakan terhadap kenyataan yang tengah gue hadapi. Diri pribadi cenderung memaksa dan masih terus berdoa bahwa apa yang dihadapi adalah mimpi. Gue berpikir bahwa, ketika gue menolak rasa kecewa tersebut, seluruh tujuan gue bakalan berhenti, nyatanya tidak. Justru dengan gue yang terus bergerak di tempat untuk menolak rasa kecewa tersebut, gue hanya memberhentikan diri gue sendiri. Seharusnya, gue mau menerima bahwa diri gue memang diberikan jalan untuk merasakan kekecewaan dan dengan begitu roda akan terus berputar. Perlu waktu lama untuk menyadarkan diri gue sendiri tentang hal tersebut. Semua itu bisa gue sadari dengan berkali-kali cerita kepada orang-orang terdekat dan melakukan kontemplasi. Berdo’a dan bercerita kepada Yang Maha Kuasa juga menjadi salah satu cara jitu untuk meluluhkan hati dan diri gue sendiri.
Setelah melewati berbagai proses pertarungan batin dengan diri sendiri, mulai muncul pikiran bahwa apa yang sudah terjadi biarlah terjadi. Semua yang sudah dilewati, memang sudah sepatutnya gue terima dan tidak gue permasalahkan kembali. Segala hal yang tidak mengenakan terkadang justru malah memberikan dampak baik kepada diri kita. Terkadang gue pribadi seringkali berpikir bahwa semua hal perlu gue pegang erat-erat dan gue pertahankan. Namun, percuma gue pegang erat-erat kalau akhirnya masih bisa “di-dor” juga sama Yang Maha Kuasa.
Kalau kalian tengah menghadapi rasa kecewa dan orang-orang berkata “udah ikhlasin aja”, tenang saja, jangan pukul mereka. Tidak perlu terburu-buru untuk menerima suatu hal dengan hati yang lapang. Toh nantinya kalau dipaksa malah ambyar hati kita, ya gak? Semuanya memang memerlukan proses kok. Perlu juga bagi diri kita untuk yakin bahwa semua rasa kecewa yang kita rasakan pada akhirnya akan menjadi rasa ikhlas juga.
Okedeh, mungkin tulisan ini gue cukupkan sampai sini dulu ya, sebelum ke-sok-tau-an gue makin menjadi-jadi HAHAHA. Apa yang gue tulis itu berdasarkan apa yang gue rasakan dan alami kok, jadi untuk setuju atau tidaknya itu kembali kepada diri kalian lagi. Barangkali dari kalian memiliki pandangan atau cerita lain tentang rasa ikhlas ini, dengan sangat senang hati gue bakalan dengerin kok. Seneng gila kalau bisa sharing-sharing yakan. Do’akan saja gue masih mau nulis selama masa liburan ini oke.
Terima kasih untuk kalian semua yang sudah mau membaca tulisan gue. Jaga kesehatan selalu semuanya !
- Nature
Keren banget!